0

Intensi Puasa

"Akan datang waktunya, ketika mempelai pria akan diambil dari mereka, dan pada ketika itu mereka akan berpuasa" (Mat 9:15)
Apakah berpuasa itu berarti sekadar tidak makan dan tidak minum? APakah berpuasa itu berarti sekadar menahan lapar dan dahaga? Rasanya tidak. Puasa bukan sekadar ritus tahunan tetapi berpuasa adalah salah satu sarana. Jauh di lubuk hati terdalam puasa adalah sarana untuk merasakan dan kembali kepada citra manusia. Itu sebabnya, Yesus menjawab pertanyaan para murid Yohanes, "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa."
Jadi, kalau ada orang yang melakukan tanpa puasa demi menjaga kelangsingan tubuh, rasanya puasa seperti itu tidak menyentuh yang paling dalam.
Kalau ada orang yang melakukan berpuasa karena memang belum tersedianya makanan dan minuman, rasanya itu pun bukan maksud berpuasa sesungguhnya.
Puasa membutuhkan intensi, keterarahan batin. Misalnya, sekarang ini hari Jumat. Dalam Katekismus Gereja Katolik ditulis adalah baik jika umat beriman berpuasa tiap hari Jumat untuk menghormati wafat Tuhan. Menghormati wafat Tuhan itulah intensi puasa, seorang ibu berpuasa untuk pertobatan anak laki-lakinya yang amat nakal, seorang suster tidak makan gula karena ia merasa mau bersolider dengan orang-orang yang tidak makan gula di daerahnya yang terpencil.
Masih banyak intensi puasa yang bisa kita lakukan. Yesus mengajarkan berpuasa ketika orang merasa Tuhan amat jauh, tak terjangkau, sehingga seakan kehadiran-Nya diambil dari hidupnya. Bukankah ada saat-saat di mana kita merasa sendiri dan hampa sehingga kita menjadi serba tak menentu?
Maka, di saat itulah kita berpuasa, memohon agar Tuhan tak berpaling dari pandangan kita terlalu lama. Kita berpuasa pada saat kapan pun, khususnya lagi ketika kita merasa kering rohani, hidup terasa berjalan tertatih-tatih, tidak ada sukacita dan nampak sia-sia belaka.
Bagaimanakah dengan puasa dan pantang pada masa prapaskah ini? Intensinya adalah mempersiapkan batin akan kebangkitan Tuhan yang kita rayakan. Yang lain lagi adalah agar hati ini punya kepeduliaan akan lingkungan hidup di sekitar kita.
Andai cara intensi puasa ini seperti di atas, saya yakin dunia yang kita ditinggali ini akan lebih indah, lebih baik dan lebih adil. Semoga!
0

Yesus Yang Menuntut

"Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya" (Luk 9:24)
Masa puasa adalah masa pertarungan hidup rohani.
Semakin serius mendaaminya, semakin terasa tantangannya. Saat-saat itu adalah saat-saat gempuran setan dan dosa yang terus menerus menghantam batin.
Itu sebabnya, memulai masa puasa ini kita mesti memiliki hati yang besar, siap bertarung dengan senjata Sabda Tuhan. Bila tidak, siap-siaplah untuk terpuruk dan menyerah kalah dalam hidup.
Hari ini pertarungan rohani dimulai ketika Yesus bersabda, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku."
Mengapa? Karena Yesus tahu bahwa ada kecenderungan batin kita untuk mencari nikmat sesaat, jalan pintas dan lari dari kenyataan hidup.
Kita mendapatkan gambaran yang baru tentang Yesus. Yesus yang kita kenal bukan lagi Yesus yang lemah lembut, Yesus yang murah hati, Yesus yang pengampun, Yesus yang memahami dan berempati pada kesusahan orang dll. Namun, sekarang kita melihat Yesus yang
menuntut. Ada tuntutan dan tanggung jawab ketika seseorang mau mengikuti Yesus.
Amat berbeda dengan situasi kini. Hidup rohani tak dipedulikan. Jadinya, lahirlah generasi lembek dan ringkih. Mereka sudah terbiasa hidup dengan enak, mudah dan nyaman. Maka, sedikit saja ada kesulitan mereka lari dan bahkan beberapa remaja mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tidak tahan dengan rasa malu, entah alasan ekonomi, entah keadaan rumah yang tidak nyaman. Dengan kata lain, banyak kaum remaja kita tidak tahan dengan tuntutan hidup sebagai mahkluk rohani. Mungkin pula mereka meneladani para orang-orang tua yang sering mencari jalan pintas hidup. Padahal jalan itu adalah jalan kebinasaan.
Itu sebabnya, Yesus menawarkan jalan keselamatan, yaitu jalan salib. Jalan yang tidak enak dan tidak menyenangkan karena orang harus bersusah dan berlelah dalam hidup. Namun, apabila kita menghargai setiap tetes keringat yang keluar atau apabila kita memberi makna setiap usaha, rasa-rasanya kita tak mudah kehilangan arah kehidupan, tak terburu-buru memilih jalan pintas ( baca: korpusi, mencontek, suap, membabat hutan). Sebagai akhir renungan saya teringat akan syair lagu kanak-kanak. Bunyinya demikian :
Di dalam dunia ada dua jalan,
Lebar dan sempit mana kau pilih
Yang lebar api, jiwamu mati,
Tapi yang sempit, Tuhan berkati.